Oleh Andika Wahyu Satrio
Jam sudah menunjukkan pukul 7 namun,
cahaya matahri masih bersembunyi dan masih malu-malu untuk menanmpakkan
wujudnya. Orang-orang sudah mulai tampak sibuk untuk memulai harinya. Namun aku
masih saja terduduk menikmati pagi yang dingin dengan melihat orang-orang yang
sudah hilir mudik kesana kemari untuk memulai harinya.
Waktu
terus berlalu dan tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9. Sang surya sudah
mulai meninggi, dan aku masih belum tau hal apa yang ingin aku perbuat hari ini
di kota yang dijuliki kota serambi Mekkah. Satu hal yang terlintas difikiran ku
tentang kota ini ialah sebuah tragedi yang sempat memporak porandakan kota ini,
dan membuat kota ini menjadi sorotan dunia akibat tragedi itu.
Kota
paling barat Indonesia ini sempat disapu oleh dahsyatnya ombak tsunami yang
terjadi pada tanggal 26 desember 2004. Dan dikota ini, saat ini terdapat sebuah
bangunan yang menjadi monumen untuk mengenang dahsyatnya ombak tsunami yang
menelan korban jiwa sekitar 170.000 orang, tampat itu di beri nama museum
tsunami Aceh.
Museum tsunami Aceh merupakan museum yang di
bangun dan di rancang sebagai monumen simbolis untuk bencana gempa bumi dan
tsunami yang terjadi di Aceh, sekaligus bangunan ini di gunakan sebagai pusat
pendidikan dan tempat perlindungan darurat apabila terjadi tsunami di masa yang
akan datang.
Setelah
mencari tahu lokasi dan alamat museum tersebut, aku pun segera bergegas untuk
melihat dan mencari tau tentang bukti-bukti yang ada yang menjadi sakti tentang
kedahsyatan tsunami yang pernah meluluh lantahkan kota ini lebih dari satu
dekade lalu.
Setelah
bersiap siap, dengan berbekal informasi yang aku dapat dari internet mengenai
museum tsunami Aceh aku memulai perjalanan ku hari ini mengunjungi saksi bisu
kejadi mengerikan dikota ini ditahun 2004 lalu. Dengan diantar oleh bentor
(sebutan warga aceh untuk becak sepeda motor) sampailah aku ke museum tsunami
yang akan menjawab segala pertanyaan ku tentang apa yang terjadi di kota ini 13
tahun silam.
Hal pertama yang menarik perhatian ketika
memasuki area museum adalah, uniknya desain dan arsitektur banguan museum yang
berbentuk seperti sebuah stadion, namun dilihat dari sisi yang lain bangunan
ini menyerupai sebuah perahu yang sangat besar.
Ketika memasuki gedung ini aku melewati
lorong gelap dengan efek air jatuh ditambah lagi dengan hawa dingin yang akan
menambah suasana mencekam ketika melewati lorong yang memiliki tinggi sekitar
40 meter. Itu lah suasana ketika memasuki museum tsunami Aceh pertama kalinya.
Setelah melewati lorong gelap dan dingin, di ujung lorong aku melihat jejeran
foto-foto pasca tsunami yang menjadi bukti tentang dahsyatnya tsunami yang
pernah menyapu kota ini.
Setelah menyaksikan jejeran foto pasca
tsunami ternyata masih ada ruangan gelap lagi di depan sana namun masih
terdapat cahaya yang masuk dari atas bangunan ini. Ruangan ini bernama “ruangan
penentuan nasib” sering disebut juga the
light of god. Ruangan ini berbentuk cerobong dengan bagian atasnya terdapat
tulisan Allah.
Di dinding ruangan ini juga terdapat
nama-nama korban yang diukir diseluruh dinding ruangan ini. Pemandu wisata juga
menjelaskan ruangan ini merefleksikan perjuangan para korban tsunami. Dimana,
bagi mereka yang menyerah ketika tersekap gelombang tsunami, maka nama mereka
terpatri di dinding cerobong sebagai korban. Sebaliknya, bagi mereka yang
merasa masih ada harapan, dan terus berjuang seraya mengharapkan belas kasih
dari Yang Maha Menolong. Begitu mereka yakin akan adanya pertolongan Allah,
maka mereka seakan seperti mendengar adanya panggilan ilahi dan terus berjuang
hingga selamat keluar dari gelombang tersebut.
Setelah berjalan menaiki dan memutari
cerobong sembari membaca nama-nama korban dan mengirimkan doa bagi para korban
tewas, jembatan harapan (hope bridge)
akan menyelamatkan korban yang selamat dari putaran gelombang maut. Ketika
memasuki hope bridge terdapat bendera
negara yang membantu para korban tsunami untuk melewati penderitaan setelah
tsunami melanda daerah mereka. Disini juga terdapat pemutaran film tsunami yang
memperlihatkan dari gempa sebelum tsunami, saat tsunami menerjang hingga saat
pertolongan datang.
Dibagian atas bangunan ini aku melihat
artefak-artefak yang berasal dari barang-barang korban yang dilanda tsunami
aceh tahun 2004 silam yang meluluh lantahkan aceh saat itu. Pada ruangan ini
juga terdapat minuatur-miniatur tentang tsunami, salah satunya yaitu miniatur
orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri saat gelombang yang melebihi
pohon kelapa datang menerjang mereka.
Selain itu di sini juga terdapat sarana
pengetahuan gempa dan tsunami yang berbasis iptek. Diantaranya kita dapat
mengetahui sejarah dan potensi terjadinya tsunami di seluruh belaha dunia,
simulasi meletusnya gunung api yang berada di Indonesia, hingga simulasi gempa
yang dapat di atur seberapa besar skalai ricternya.
Setelah lelah menyusuri dan mebayangkan
penderitaan yang dialami oleh para korban tsunami aceh tahun 2004. Terdapat
tempat yang menjajakan berbagai macam kue-kue khas aceh seperti ceupet kuet dan
keukarah. Selain itu juga terdapat kios-kios yang menjual souvenir dan
oleh-oleh khas aceh.
Di bagian paling atas bangunan museum
berfungsi sebagai tempat penyelamatan darurat dan evakuasi apabila terjadi
tsunami lagi dimasa yang akan datang. Sayangnya tingkat paling atas bangunan
ini tidak di buka untuk umum karena bagian paling atas bangunan di gunakan
hanya pada saat darurat saja.
Setelah selesai melihat isi museum yang di
rancang oleh Ridwan Kamil ketika ia masih menjadi dosen di ITB dan membayangkan
apa yang terjadi di kota ini 13 tahun yang lalu, akhirnya aku memutuskan untuk
kembali ke penginapan.
Sembari
berjalan kembali menuju penginapan aku berfikir tentang apa yang aku
lihat saat ini di kota ini merupakan hasil jerih payah masyarakat Aceh untuk
kembali membangun daerah mereka yang rata dengan tanah setelah di terjang oleh
gelombang tsunami. Namun kejadian 13 tahun yang lalu bagi mereka yang selamat
pasti menjadi sebuah cerita yang mengerikan dan akan menjadi sebuah pelajaran
untuk para generasi mereka selanjutnya. Dan museum tsunami Aceh merupakan saksi
tentang keganasan gelombang tsunami yang menghantam kota Aceh dan sekitarnya 13
tahun yang lalu.
Komentar
Posting Komentar